JawaPos.com – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango angkat bicara terkait pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri yang menyebut presidential threshold harus 0 persen untuk mencegah praktik korupsi. Menurut Nawawi, pernyataan tersebut tidak secara kelembagaan dan merupakan pernyataan pribadi Firli Bahuri.

Sebab belakangan ini pernyataan Firli terkait presidential threshold 0 persen ramai menjadi perbincangan publik. Termasuk datang daru para petinggi partai.

“Omongan pak Firli itu merupakan pendapat atau argumen yang bersangkutan pribadi, bukan merupakan hasil kajian kelembagaan KPK. Kita menghormati cara pandang pribadi tersebut sebagai bagian hak berpendapat setiap warga negara,” kata Nawawi dikonfirmasi,” Rabu (15/12).

Pimpinan KPK berlatar belakang hakim menghormati pernyataan Firli sebagai warga negara, untuk menyampaikan pendapatnya. Menurut Nawawi, seharusnya yang ditelaah bukan pada presidential threshold tetapi pada penyelenggaraan Pemilu yang memang membutuhkan biaya tinggi.

“Bagi saya sendiri, mungkin yang lebih pas ditelaah dan bersinggungan dengan issue pemberantasan korupsi yang memang menjadi tupoksi KPK, bukan soal presidential threshold, tapi kepada sistem penyelenggaraan Pemilu, Pilkada, Pilpres dan Pileg yang berbiaya tinggi,” cetus Nawawi.

Nawawi mengutarakan, biaya politik yang tinggi yang memang menimbulkan terjadinya praktik korupsi. Hal ini bukan tanpa dasar, karena KPK sendiri telah melakukan kajian terkait mahalnya biaya politik.

“Senyatanya menjadi sumber potensi perilaku koruptif, materi ini yang mungkin KPK bisa ikut berperan melakukan kajian-kajian dan selanjutnya merekomendasikan kajian tersebut kepada Pemerintah dan DPR,” tegas Nawawi.

PERBAIKAN PERINGKAT: Presiden Joko Widodo didampingi Ketua KPK Firli Bahuri setelah menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, kemarin (9/12). (FEDRIK TARIGAN/JAWA POS)

Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri menginginkan presidential threshold di Indonesia menjadi 0 persen. Menurut Firli, hal ini untuk menghilangkan politik balas budi yang berpotensi menimbulkan praktik korupsi.

“Modal besar untuk pilkada sangat berpotensi membuat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, karena setelah menang akan ada misi balik modal. Di sisi lain mencari bantuan modal akan mengikat politisi-politisi di eksekutif atau legislatif dalam budaya balas budi yang korup,” ucap Firli dalam keterangannya.

Firli mengatakan KPK telah mengkaji penyebab korupsi atas dasar pencarian dana untuk pengembalian modal saat kampanye. Menurutnya data tersebut didapat dalam enam forum bersama kepala daerah terkait pendidikan dan pencegahan korupsi yang dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia.

Dalam enam forum itu, lanjut Firli, KPK mendapatkan keluhan tentang mahalnya presidential threshold di Indonesia. Sehingga, calon kepala daerah yang mau maju harus mencari modal dengan bantuan dari pemodal untuk bertaruh mendapatkan jabatan.

“Fakta data KPK terakhir, 82,3 persen calon kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada mereka,” ujar Firli.

Sebab Pemberian modal itu tidak gratis. KPK mencatat kepala daerah yang sudah menjabat harus melakukan balas budi ke pemodal usai mendapatkan kursi di pemerintahan daerah. Balas budi dalam hal ini bukan berupa pengembalian uang kampanye.

“Salah satunya, 95,4 persen balas budi pada donatur akan berbentuk meminta kemudahan perijinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan atau 90,7 persen meminta kemudahan untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintahan (pengadaan barang dan jasa),” tutur Firli.

Firli menyebut prinsip balas budi dari pemodal membuat kepala daerah melakukan tindakan koruptif dengan jabatannya. Menurutnya, kepala daerah menggunakan kuasanya untuk menciptakan birokrasi yang korup dalam rangka bisa membalas budi.

“Karena dari mana lagi mereka mencari pengganti itu kalau bukan dari kas negara,” pungkas Firli.