JawaPos.com – Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno menilai penyelenggara negara seharusnya dituntut dan diancam dengan pidana hukum yang lebih berat dibandingkan pihak swasta dalam perkara korupsi. Dia menilai, praktik korupsi terjadi karena adanya keterlibatan penyelenggara negara atau aparatur sipil negara (ASN).
Hal ini disampaikan menanggapi perbedaan tuntutan dari jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan dana PT ASABRI (Persero). “Kalau secara umumnya, mestinya yang penyelenggara negara atau pegawai negeri ancaman hukumannya harus lebih berat dari pihak swasta. Karena pada umumnya korupsi itu terjadi karena ada keterlibatna dari pegawai negeri atau penyelenggara negara,” kata Nur Basuki dalam keterangannya, Selasa (2/12).
Dia memandang, mustahil kejahatan korupsi tidak melibatkan penyelenggara negara. Karena penyelenggara negara yang mempunyai kekuasaan dan wewenang dalam mengatur kebijakan dan mengelola anggaran negara.
“Korupsi itu mestinya melibatkan aparatur negara karena aparatur negara itulah yang mempunyai kekuasaan, mempunyai kewenangan untuk itu,” ucap Nur Basuki.
Menurutnya, ancaman hukuman terhadap terdakwa korupsi tidak tergantung pada besar atau kecilnya kerugian negara yang diakibatkan dari tindak pidana terdakwa. Terlebih dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak mengatur sama sekali besaran kerugian negara akan mempengaruhi ancaman hukuman terhadap terdakwa.
“Dalam UU Tipikor, besarnya kerugian keuangan negara itu, itu tidak linear dengan berat ringannya pidana. Khususnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 (UU Tipikor), tidak mencantumkan berapa kerugian keuangan negara. Yang penting di situ, ada kerugian keuangan negara yang disebabkan perbuatan melanggar hukum atau penyalahgunaan wewenang, itu merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana maksud Pasal 2 dan Pasal 3,” papar Nur.
Meski demikian, Nur Basuki enggan menyebutkan tuntutan tersebut tidak adil. Karena makna kata adil tersebut sangat tergantung sudut pandang masing-masing pihak.
Hanya, jika ditempatkan dalam porsi yang sesuai dan tepat, maka hukuman terhadap penyelenggara negara dalam kasus korupsi harus lebih berat dibandingkan pihak swasta.
“Saya nggak ngomong adil atau tidak adil, karena susah untuk mengukurnya, adil itu dari sisi yang mana, memang susah memberikan definisi adil, tergantung dari sisi mana. Jadi, kita kembali ke porsinya masing-masing,” ungkap Nur.
Senada juga disampaikan, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Dian Adriawan dengan tegas menilai tuntutan jaksa dari Kejagung terhadap para terdakwa kasus Asabri tidak adil. Menurutnya, pihak swasta dalam hal ini Heru Hidayat dituntut dengan pidana mati, sementara mantan dirut dan direksi PT Asabri dituntut dengan pidana penjara 10-15 tahun.
“Kalau mengenai ancaman pidana tergantung dari peran-peran yang dilakukan. Tetapi kalau misalnya ada yang dituntut dengan pidana mati sedangkan yang lain tidak dituntut dengan pidana mati, itu sesuatu yang menurut saya tidak adil,” ucap Dian.
Dian mengaku aneh karena aktor penting dalam perkara korupsi adalah pejabat atau penyelenggara negara. Keterlibatan pihak swasta, umumnya dikaitkan dengan Pasal 55 KUHP, yakni turut serta melakukan perbuatan pidana.
“Karena begini, dituntut dengan Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor junto Pasal 55 KUHP, Pasal 55 itulah yang mengkaitkan keberadaan pihak swasta di dalam kasus ini. Kok malah swasta yang diperberat ancaman pidananya, tuntutan pidananya,” pungkas Dian.