Pidato Ketua Umum PBNU Prof KH Said Aqil Siraj di pembukaan Muktamar Ke-34, Rabu (22/12) pagi, di Pondok Pesantren Darussa’adah, Lampung Tengah, terbilang menarik dan bersejarah Sebab, baru kali pertama pelaksanaan muktamar dihelat di masa pandemi Covid-19 dan kali pertama digelar di Lampung, Sumatera Selatan. Berikut isi lengkapnya:

Hari ini kita berkumpul untuk memulai Muktamar Nahdlatul Ulama ke 34. Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang menakdirkan kita menjadi saksi pergantian abad Jam’iyyah ini. Usia panjang jamaah dan jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah bukti kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Seabad yang lalu, kita sama-sama tahu, NU berdiri sebagai jawaban atas pertanyaan dan tantangan zaman. Islam harus terlibat memberi warna pada zaman yang tak menentu, mencari-cari cara agar cahaya Allah terlihat terang dan tak padam oleh kekufuran. Para Kyai terpanggil untuk menjawab tantangan dunia yang sedang bergolak dari sudut pandang agama. Pada tataran global, Perang Dunia Pertama baru saja usai, sistem monarki berbasis agama mulai terasa tak memadai, dan gelombang Wahabisasi sebagai embrio radikalisme berkibar dari Hijaz.

Sementara di Nusantara, patriotisme mulai menemukan bentuknya, perlawanan terhadap penjajahan, kemiskinan dan ketidakadilan bermuara pada apa yang hari ini sering kita kenang sebagai era Kebangkitan Nasional. Di era itu, NU sebagai jam’iyyah sepenuhnya lahir dari transformasi praktik kemandirian jama’ah, yakni kemandirian komunitas pesantren yang selama berabad-abad bertahan hidup dalam tekanan kolonialisme.

Agustus 1945, Bom Atom sekutu meledak di Nagasaki dan Hiroshima. Ledakan itu menandai akhir Perang Dunia Kedua sekaligus membuktikan betapa akselerasi teknologi bisa sedemikian merusak kehidupan bersama. Sesudahnya, Dunia menyaksikan satu demi satu kelahiran banyak negara-bangsa. Dunia berubah. Umat manusia lalu terjepit di antara dua pilihan masa depan. Pilihan untuk menjadi negara sekuler atau menjadi negara agama.

Suasana zaman pada saat NU lahir diliputi pertanyaan besar, apakah selepas perang demi perang, setelah begitu banyak darah tumpah, kita sebagai umat manusia bisa hidup untuk saling berbagi di atas bumi Allah ini? Kalaupun bisa bagaimana caranya?

Belasan tahun hidup di Arab membuat saya menghayati arti penting NU untuk Indonesia dan Dunia. Dengan segala hormat, di Arab agama sedari awal tidak menjadi unsur aktif dalam mengisi makna nasionalisme. Bila anda membaca sejarah dan naskah konstitusi negara-negara Arab, anda akan segera tahu betapa mahal dan berharga naskah Pembukaan UUD 1945 yang kita punya.

Di Timur Tengah, tak banyak kita jumpai ulama yang nasionalis, sebagaimana sangat jarang kita temukan kaum nasionalis yang sekaligus ulama. Sebagai akibatnya, nasionalisme dan agama seringkali bertentangan lalu lahirlah satu demi satu konflik-konflik sektarian. Apa yang kita saksikan di Palestina, Myanmar, Rohingya, Israel, Somalia, Suriah, Yaman, hingga Afghanistan adalah rangkaian ketidaktuntasan menjawab tantangan zaman.

Nasionalisme dan Agama adalah dua kutub yang saling menguatkan. Keduanya jangan dipertentangkan. Demikianlah pusaka wasiat dari Hadratussyaikh Kyai Hasyim Asy’ari yang diamini dan disuarakan ribuan ulama Pesantren. Dan dengan demikian kita mengerti bahwa ujian atas sikap tawasuth, ujian memoderasi polarisasi dua kutub ekstrim, memang sudah khas NU sejak awal mula pendiriannya. Mereka yang tidak faham sikap tegas NU atas HTI maupun FPI barangkali memang belum mengerti betapa berat amanah memoderasi kutub-kutub ekstrim di negeri ini. Bagi NU dan Pesantren, menjaga NKRI adalah amanah karena hanya dengan bersetia kepada konstitusi, tatanan bersama dapat terselenggara.

Hadirin rahimakumullah…

Sikap tawasuth atau moderat mustahil tercapai tanpa kemandirian. Usia NU yang mencapai hampir seabad ini antara lain disebabkan kemandirian dalam pengertian setia kepada prinsip dan nilai-nilai dasar agama; kemandirian dalam pengertian sanggup menyusun agenda-agendanya sendiri; kemandirian dalam arti teguh membawakan ruhud din, ruhul wathoniyah, dan ruhut ta’addudiyyah; kemandirian dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya; kemandirian dalam arti sanggup bergaul dan berbagi dengan siapa saja sembari menjaga harga diri; kemandirian dalam arti mengerahkan segenap ikhtiar lahir-batin dan menyandarkan hasilnya semata-mata pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tawasuth atau sikap moderat di antara dua kutub bukanlah perkara mudah. Tawasuth mempersyaratkan kecakapan pengetahuan dan kebijaksanaan. Dua hal ini lah yang diteladankan para Imam Mazhab dan Ulama-ulama kita. Sementara untuk menjadi ekstrimis, seseorang cukup bermodalkan semangat dan fanatisme buta.

Atsar pengetahuan dan kebijaksanaan pada gilirannya mewujud dalam sikap kemandirian. Pribadi-pribadi besar dalam sejarah panjang NU dan Pesantren adalah kisah-kisah mengenai kemandirian. Hanya dengan menjadi mandiri, kita baru mungkin untuk menyumbangkan sesuatu, berkontribusi kepada hidup bersama, berkhidmat pada peradaban dunia.

Hadirin yang dirahmati Allah …

Tema Muktamar NU ke-34 ini boleh dikatakan refleksi perjalanan satu abad Nahdlatul Ulama: Kemandirian dalam Berkhidmat untuk Peradaban Dunia. Tema ini sekaligus menjadi warisan atau bekal mengarungi abad kedua bagi Nahdliyyin untuk terus mengembangkan berbagai peran kemanusiaan mereka. Li takunuu syuhada’an ‘alan naas.

Lalu bagaimanakah NU satu abad ke depan yang kita bayangkan? Usia kita masing-masing hanya Allah yang tahu. Tapi usia NU? Kita berharap langgeng dan tegak di atas bumi Allah ila yaumil qiyamah. Tapi orientasi apa yang mau NU tuju?

Hadirin sekalian, bila seabad lalu dunia dihantui pertanyaan “apakah manusia bisa saling berbagi?”, maka hari ini pertanyaan itu bergeser menjadi “apakah bumi ini ke depan masih layak untuk dihuni?”

Maka, sikap tawassuth kembali diuji hari-hari ini, tak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Problem-problem lama bawaaan abad lalu belum seluruhnya tertangani. Sedangkan masalah-masalah baru datang bertubi-tubi, masalah yang berkisar pada Perubahan Iklim, kesenjangan ekonomi, bio-teknologi, polarisasi percakapan dan identitas, radikalisme-terorisme, dan krisis energi. Sementara itu, laju teknologi bergerak secara eksponensial menawarkan kemudahan-kemudahan praktis dengan risiko-risiko yang tak sepenuhnya bisa diperkirakan.

Daftar panjang tersebut bisa diringkas sebagai keresahan-keresahan milenial. Keresahan yang penanganannya jelas meniscayakan kolaborasi bersama warga dunia, bukan hanya warga negara. Di situ lah, kita mengapresiasi inisiatif pemerintah Indonesia yang mencanangkan Visi Indonesia 2045. Itu adalah masa-masa puncak bonus demografi tapi diperkirakan juga merupakan masa-masa kelam bumi secara iklim dan lingkungan. Penghargaan setinggi-tingginya kita haturkan kepada Bapak Presiden Joko Widodo, Bapak Infrastruktur Indonesia. Konektivitas antar wilayah di Indonesia menjadi jauh lebih efektif dan efisien. Dan konektivitas itu akan memicu ketercapaian Visi Indonesia 2045. Itu adalah periode di mana Bangsa Indonesia betul-betul berkontribusi pada peradaban dunia.

Dari sudut pandang santri dan pesantren, visi tersebut sebangun dengan lima jenis kekayaan yang menjadi kebesaran bangsa Indonesia. Kekayaan pertama adalah sumber daya sosial . 17 ribu lebih pulau, 300 etnis dan 1.340 suku bangsa, dan 1.211 dialek bahasa adalah fakta keragaman dan kemajemukan bangsa ini. Kemajemukan yang disatukan di bawah tenda besar Pancasila dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Di tenda besar itu, ormas-ormas keagamaan berperan sebagai semen perekat sosial. Mereka mengkonsolidasikan nasionalisme sebagai proyek integrasi bangsa yang tumbuh dari bawah, tidak perlu dipaksakan dari atas dengan tangan besi.

Kekayaan kedua adalah budaya. Di satu sisi, kebudayaan Nusantara membuka diri pada interaksi dan kolaborasi dengan kebudayaan global asing. Di sisi lain, kebudayaan setempat atau lokal menjadi identitas, nafas, dan aktualisasi nilai-nilai. Di negeri ini, Islam Nusantara menjadi bukti dari kematangan hadlarah. Islam Nusantara matang karena ia menggunakan budaya sebagai infrastruktur utamanya.

Kekayaan ketiga adalah simbolis. Bangsa ini amat kaya dengan kemandirian simbolik. Buah dari interaksi global-lokal adalah produk-produk kebudayaan yang dinyatakan dalam simbol-simbol yang hidup dalam keseharian. Penjabaran kekayaan simbolik ini memang bisa panjang sekali. Namun demi keringkasan, ijinkan saya meminjam sarung dan peci yang anda sekalian pakai. Kita semua langsung faham bahwa sarung dan peci itu adalah simbol identitas Islam. Dalam sekali  tarikan nafas, melalui peci dan sarung, orang langsung mengenali Islam tak harus Arab. AlhamduliLlah, kita juga senang peci menjadi busana nasional. Siapapun bisa memakainya, bahkan oleh saudara-saudara kita yang non-muslim.

Kekayaan keempat adalah kekayaan material Indonesia punya potensi sumber daya alam yang luar biasa. Daratannya dipenuhi hutan-hutan  penopang  paru-paru  dunia, di bawahnya terkandung kekayaan mineral yang banyak. Lautannya mengandung potensi ekonomi biru tiada tara, di bawahnya tersimpan bukan hanya ikan, tetapi cadangan migas dan mineral yang berlimpah. Yang dibutuhkan adalah SDM unggul, yang mampu mengolah kekayaan alam itu sebagai modal pembangunan. Orientasi kebijakan pemerintah adalah pembangunan sekaligus pemerataan. Tidak hanya menggenjot pertumbuhan (growth) tanpa memperhatikan ketimpangan. Pemerataan distribusi kesejahteraan adalah prasyarat mutlak terciptanya perdamaian.

Kekayaan kelima adalah sumber daya politik. Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga dan negeri Muslim terbesar di dunia. Indonesia bukan negara agama, tetapi negara Pancasila yang menaungi semua pemeluk agama. Islam berjalan seiring dengan demokrasi, stabilitas politik, dan pertumbuhan ekonomi. Memang bukan hal yang mudah. Bangsa ini sudah diuji oleh berbagai prahara sejarah. Setiap kali jatuh, bangsa ini bangkit lebih tinggi lagi. Dan dari sana kita yakin bahwa sepanjang cara kita mengelola demokrasi didasari kemaslahatan bersama, kemauan untuk mendengar, kejernihan akal-budi, dan kelapangan hati untuk menerima perbedaan, maka bangsa besar ini akan semakin terhormat  dan bermartabat. Dan pada saatnya nanti, aktif berkiprah dalam mendorong dunia yang lebih damai, aman, dan beradab.

Presiden, Wakil Presiden, Rais ‘Aam, para Tamu Undangan, dan hadirin-hadirat yang berbahagia.

Kita menikmati buah perjuangan para ulama di masa lalu. Kita berkewajiban membayarnya dengan menyiapkan pijakan untuk generasi NU masa depan seperti yang sudah kita nikmati dari yang kita warisi selama ini. Satu abad berlalu dan kita melihat betapa cepatnya dunia berubah. Ini adalah momen yang tepat bagi NU untuk menyiapkan kompas nilai yang relevan bagi dunia baru ke depan. Yaitu dunia yang dihadapi anak-anak kita, cucu-cucu kita, buyut-buyut kita dan seterusnya.

Ijinkan saya merefleksikan seluruh apa yang saya sampaikan ini melalui firman Allah SWT:

‘’Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah Telah membuat perumpamaan bahwa kalimat yang baik laksana pohon yang baik. Akarnya teguh menancap dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya sepanjang waktu dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu pada manusia supaya mereka selalu ingat. Sedangkan perumpamaan kalimat yang buruk bagaikan pohon yang buruk yang tercerabut hingga akar-akarnya dari permukaan bumi; Pohon itu tidak dapat tegak sedikitpun. Allah meneguhkan iman orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; Allah menyesatkan orang-orang zalim dan memperbuat apa yang Ia kehendaki.” ( Q.S. Ibrahim : 24 – 27 ).

Demikian, mohon Bapak Presiden berkenan memberi arahan sekaligus membuka Muktamar ke-34 NU di Lampung, 22-23 Desember.  Selamat bermuktamar kepada anda sekalian segenap Pengurus Wilayah dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama.  Selamat bermuktamar dengan santun dan akhlaqul karimah. Selamat menyongsong abad kedua Nahdlatul Ulama.