JawaPos.com – Pengangkatan Mayor Jenderal (Mayjen) TNI Untung Budiharto menduduki posisi Pangdam Jaya tengah menjadi sorotan. Pasalnya, Mayjen TNI Untung Budiharto merupakan mantan anggota tim mawar yang diduga pernah terlibat dalam melakukan penghilangan paksa terhadap aktivis prodemokrasi.

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri menyampaikan, promosi jabatan tersebut dinilai telah mengusik rasa keadilan masyarakat, terutama korban dan keluarga korban penculikan yang bahkan hingga kini selama 23 tahun ada yang belum kembali dan tidak diketahui nasibnya. Karena, kasus penghilangan paksa yang terjadi pada sekitar tahun 1997-1998 menjadi salah satu catatan hitam isu HAM yang melibatkan militer.

“Mayjen Untung merupakan mantan anggota Tim Mawar yang berasal dari kesatuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Grup IV TNI AD yang dibentuk oleh Mayor Bambang Kristiono pada Juli 1997. Tim Mawar yang beranggotakan 10 orang ini melakukan penghilangan paksa (penculikan) terhadap beberapa orang aktivis pro-demokrasi menjelang kejatuhan rezim militer Soeharto,” kata Gufron dalam keterangannya, Jumat (7/1).

“Seluruh anggota Tim Mawar ini kemudian diadili di Mahkamah Militer Tinggi II pada April 1999 dan dinyatakan bersalah melakukan penghilangan paksa dengan hukuman yang berbeda-beda. Mayjen Untung sendiri mendapat hukuman 20 bulan penjara dan dipecat dari TNI,” imbuhnya.

Namun putusan Mahmilti II tersebut direvisi pada tingkat banding, pada tahun 2000 dan menyatakan Untung dihukum 2 tahun 6 bulan penjara tanpa pemecatan. Tetapi beberapa eks anggota Tim Mawar lainnya pun demikian, putusan pemecatan yang dilakukan oleh Mahkamah Militer Tinggi II kemudian dianulir pada tingkat banding.

Sehingga beberapa orang dari mereka saat ini ada yang menduduki posisi strategis di TNI dan di Kementrian Pertahanan dibawah pimpinan Prabowo Subianto. Secara faktual, peradilan militer yang digelar bagi eks anggota Tim Mawar ini telah menjadi sarana impunitas bagi pelaku penghilangan paksa (penculikan).

“Pengangkatan Mayjen Untung sebagai Pangdam Jaya dan eks anggota Tim Mawar lain yang mengisi posisi lain di Kementerian Pertahanan menunjukan upaya penghormatan terhadap HAM belum dianggap penting dalam pembangunan TNI, termasuk terkait dengan kanaikan pangkat, karir dan penempatan dan pengisian jabatan-jabatan strategis di TNI,” papar Gufron.

Ketika jabatan-jabatan strategis di TNI dan Kementrian Pertahanan diduduki oleh orang-orang yang memiliki catatan buruk dalam konteks HAM, kata Gufron, sudah tentu ini menjadi penghalang utama bagi TNI dan Kementerian Pertahanan itu sendiri untuk menghormati prinsip-prinsip HAM.

Oleh karena itu, Panglima TNI semestinya mendengarkan masukan publik dan menggunakan berbagai catatan publik dan lembaga HAM seperti Komnas HAM, untuk mencermati rekam jejak anggotanya untuk menempati posisi atau jabatan strategis tertentu. Salah satu aspek penting yang perlu menjadi pertimbangan adalah memastikan bahwa prajurit TNI tersebut tidak terkait dengan kasus pelanggaran HAM berat.

“Lebih dari itu, pengangkatan Mayjen Untung dan eks Anggota Tim Mawar lainnya dalam posisi strategis di TNI dan Kementerian Pertahanan juga menjadi bentuk pengkhianatan terhadap gerakan Reformasi 1998. Kebebasan (demokrasi) yang dinikmati oleh segenap elemen bangsa Indonesia hari ini merupakan buah perjuangan dari mereka yang menjadi korban seperti diculik dan bahkan sebagian belum kembali sejak masa lalu,” pungkas Gufron.