JawaPos.com – Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menilai, operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyasar tiga kepala daerah dan satu hakim diyakini belum bisa mengembalikan kepercayaan publik. Hal ini sebab, OTT yang digelar pada awal tahun 2022, baru kepala daerah dan satu hakim saja, tidak menyasar ke oknum pejabat tinggi negara yang dulu sering diringkus KPK.

“Apa ini bisa membalikan kepercayaan publik kepada KPK? Saya nyatakan belum dan bahkan masih jauh, malah makin menurun, masyarakat menilai beraninya sama Bupati/Wali Kota,” kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman kepada JawaPos.com, Minggu (23/1).

Aktivis antikorupsi ini menilai, KPK yang dikomandoi Firli Bahuri hanya terlihat ingin bekerja. Karena kini, yang tertangkap tangan hanya setingkat kepala daerah.

“Saya masih melihat, KPK OTT pada tahun ini supaya dilihat bekerja. Itu terbukti yang ditangkap hanya Bupati, padahal dulu tinggi yang ditangkap DPR, Menteri, DPR, Menteri kan selalu begitu,” ungkap Boyamin.

Meski era Firli Bahuri atau tepatnya pada 2021 lalu, KPK pernah menangkap dua Menteri yakni Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batubara, lanjut Boyamin, prestasi itu dinilai bukan hasil Firli Bahuri. Tetapi, 57 orang pegawai KPK yang dipecat, dengan alasan tidak memenuhi syarat asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK)

“Jadi bukan prestasinya Pak Firli yang sekarang. Prestasi Pak Firli hanya ini menangkap tiga kepala daerah dan satu hakim,” cetus Boyamin.

Boyamin menganalogikan, menangkap kepala daerah seperti berburu di kebun binatang. Sehingga dinilai sangat mudah, jika hanya menangkap setingkat kepala daerah.

“Jadi pasti dapat buruan itu, karena kepala daerah pertama biaya mahal sehingga harus balik modal. Kedua, ya barang kali pengen lebih kaya atau sikap serakah. Ketiga, adalah tidak tahan godaan, karena ketika menjadi kepala daerah banyak hal istimewa yang menjadikan dia berkuasa misalnya proyek, pegawai, mutasi dan promosi,” papar Boyamin.

Sebagaimana diketahui, pada awal tahun 2022, tepatnya 5 Januari 2022 KPK menangkap Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi atas kasus dugaan suap terkait proyek dan lelang jabatan di lingkungan Pemkot Bekasi. Selain Rahmat Effendi, KPK juga menetapkan delapan orang lainnya sebagai tersangka terkait kasus tersebut.

Sepekan kemudian tepatnya pada 12 Januari 2022, KPK menangkap Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas’ud. Bupati di lokasi calon ibu kota negara baru itu diamankan bersama 10 orang lainnya.

Dalam perkara ini KPK turut mengamankan uang sejumlah Rp 1,44 miliar yang diduga uang suap. Selain Abdul Gafur Mas’ud yang merupakan politikus Partai Demokrat, KPK juga menjerat Achmad Zuhdi alias Yudi yang merupakan pihak swasta; Plt Sekda Penajam Paser Utara, Muliadi; Kadis PUTR Penajam Paser Utara, Edi Hasmoro; Kabid Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga, Jusman; serta Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan, Nur Afifah Balqis.

Tak lama, bertepatan pada Selasa, 18 Januaro 2022 tim Satgas KPK melakukan OTT terhadap Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin. KPK menduga, Terbit Rencana menerima suap terkait proyek di wilayah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Lembaga antirasuah juga menetapkan Kepala Desa Balai Kasih, Iskandar PA yang juga saudara kandung Terbit Rencana, serta empat orang pihak swasta atau kontraktor bernama Muara Perangin Angin, Marcos Surya Abdi, Shuhanda Citra, dan Isfi Syahfitra sebagai tersangka.

Terakhir, sehari kemudian tepat pada Rabu 19 Januari 2022, tim satgas KPK menangkap Hakim Pengadilan Negeri Surabaya Itong Isnaeni Hidayat, panitera pengganti Hamdan dan seorang pengacara Hendro Kasiono. Mereka diduga terlibat suap terkait penanganan perkara perdata PT Soyu Giri Primedika.