JawaPos.com – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan bahwa diperlukan restorasi kebijakan publik untuk melakukan transformasi politik yang lebih humanis. Hal ini harus mengacu pada nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

“Saat ini kita memerlukan sejumlah kebijakan yang mampu mengantisipasi berbagai perubahan, lewat berbagai penyesuaian terhadap norma-norma baru yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Menuntaskan Agenda Politik di Tahun 2022 yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (12/1).

Menurut Lestari, upaya memperkuat nilai-nilai kebangsaan kita harus terus dilakukan untuk mengantisipasi sejumlah tantangan dalam bernegara yang ujungnya adalah terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Diakui Rerie, sapaan akrab Lestari, pada dua tahun terakhir Indonesia, seperti juga negara lain, dilanda pandemi Covid-19 yang berdampak terhadap berbagai sektor, termasuk sektor politik.

Berdasarkan catatan The Economist Intelligent Unit (EIU), tambah Rerie, demokrasi Indonesia secara
umum mengalami penurunan skor selama lima tahun terakhir.

Akibatnya, ujar Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, sejumlah pekerjaan rumah hingga saat ini masih menumpuk dan memerlukan perhatian semua pihak untuk menuntaskannya.

“Kita harus segera mendapatkan jalan keluar dari berbagai persoalan yang ada saat ini, dengan merangkul semua komponen masyarakat agar mampu menjawab berbagai tantangan dalam bernegara,” ujar Rerie.

Pakar Politik FISIP Unair, Airlangga Pribadi berpendapat, menurunnya indeks demokrasi di masa pandemi tidak dialami Indonesia saja, tetapi hampir semua negara di dunia.

Akar masalah dari penurunan indeks demokrasi itu, ujar Airlangga, tidak terlepas dari problem ekonomi yang dihadapi sebagai dampak dari kebijakan pengendalian Covid-19.

Akibatnya, tambah Airlangga, pembelahan politik berbasis SARA dan praktik politik uang
pun terjadi di sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.

“Ada problem ketimpangan ekonomi yang cukup lebar di Indonesia, karena satu persen orang kaya menguasai 41% sumber-sumber kemakmuran di tanah air,” ujarnya.

Airlangga menilai kondisi itu akan memicu kekecewaan karena terganggunya praktik keterwakilan dalam proses demokrasi.

Kondisi tersebut, menurut Airlangga, harus mendorong terjadinya reformasi partai politik agar para anggota partai politik, sebagai calon anggota legislatif dan pejabat eksekutif, mampu mengartikulasikan dinamika yang terjadi di masyarakat, untuk kemudian partai politik bisa mencarikan solusi atas dinamika yang terjadi di masyarakat.

Pada kesempatan yang sama, Anggota DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Irma Suryani Chaniago berpendapat, pemilihan umum (Pemilu) yang merupakan bagian dari mekanisme demokrasi yang menghasilkan pengambil keputusan publik, harus menerapkan regulasi yang jelas.

Regulasi tersebut, ujar Irma, berupa aturan yang mampu memastikan kualitas sumber daya manusia (SDM) penyelenggara pemilu harus transparan dan bertanggungjawab.

Karena berdasarkan pengalaman Irma, banyak terjadi kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu di masa lalu yang dipicu rendahnya kualitas SDM penyelenggara pemilu.

Pada kesempatan itu, pakar Hukum Tata Negara, Atang Irawan menyoroti buruknya proses legislasi di DPR selama ini.
Menurut Atang, hanya kurang dari 30% Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) mampu dibahas legislator hingga menjadi undang-undang.

Bahkan, ujar Atang, RUU yang sudah selesai dibahas pada 2021, muncul kembali pada daftar Prolegnas 2022.

Upaya pembenahan yang sistematis dalam proses legislasi di DPR, menurut Atang, harus segera dilakukan. Atang menyarankan, penyusunan Prolegnas harus dilakukan sebelum APBN disahkan. Karena, jelasnya, pembahasan Prolegnas itu sangat terkait dengan skema anggaran negara.

Terpenting dari itu, tegas Atang, penyusunan Prolegnas harus disesuaikan dengan tujuan kita dalam bernegara. “Hal ini harus menjadi dasar bertindak para legislator dalam proses legislasi,” tegasnya.

Ketua Departemen Perubahan Sosial dan Politik, CSIS, Arya Fernandes mengungkapkan, dalam dua tahun terakhir ini peran pemerintah pusat menguat dalam mengatasi sejumlah krisis yang terjadi di tanah air.
Kekuatan itu, jelasnya, juga berkat dukungan mayoritas partai di parlemen dalam setiap pengambilan keputusan penting untuk mengatasi sejumlah persoalan bangsa.

Di sisi lain, ujar Arya, saat ini terjadi penurunan komitmen elite terhadap pelaksanaan demokrasi dan konstitusi. Hal itu, antara lain ditandai dengan munculnya usulan dari kalangan elite agar masa jabatan presiden dan kepala daerah diperpanjang, untuk mengantisipasi kendala dalam pelaksanaan Pemilu serentak pada 2024.

Menurut Arya, keberlangsungan proses politik di tanah air harus didukung dengan kepastian sejumlah aturan terkait pelaksanaan Pemilu pada 2024.
Arya menilai sejumlah aturan tersebut harus sudah dipastikan pada tahun ini agar pelaksanaan Pemilu serentak 2024 berjalan dengan baik.