JawaPos.com – Presiden DPP Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirah berpendapat, aturan baru terkait Jaminan Hari Tua (JHT) memberatkan para pekerja. Sebab, program baru Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang akan dirilis besok seperti memberikan harapan semu.
“Itu justru mengaburkan substansi persoalan, dan memberikan harapan-harapan semu karena masih abu-abu, belum kelihatan, dan pemanis,” ujarnya dalam keterangannya, Senin (21/2).
Untuk diketahui, terdapat tiga kelebihan pencairan JHT saat pekerja memasuki usia pensiun atau 56 tahun. Pertama, akumulasi iuran dan pengembangan yang bakal didapatkan nilainya lebih besar. Kedua, perlindungan kepada pekerja/buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelum usia 56 tahun takkan diabaikan pemerintah. Ketiga, dapat mencairkan sebagian dana dari akumulasi iuran dan pengembangan sebelum pensiun.
Sumirah menyebut, para pekerja tidak membutuhkan hasil pengembangan dana kepesertaan pada BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, uang yang didapat dari JHT saat di-PHK digunakan untuk memenuhi kebutuhan harian.
“Kita nggak butuh (hasil dana) pengembangan. Kita nggak muluk-muluk, (uang JHT) untuk bayar listrik, makan, anak sekolah. Kalau sudah di-PHK, kita nggak dapat apa-apa, apalagi dari pemerintah,” tuturnya.
Bagi Sumirah, program JKP untuk para korban PHK tersebut tidak ada hubungannya dengan JHT. Alasannya, sumber dana JHT berasal dari 2 persen gaji pekerja yang dipotong setiap bulannya. “Kalau JKP kan program pemerintah. Itu, kan, (ada karena regulasi, Red) turunan Undang-Undang Cipta Kerja, PP (Peraturan Pemerintah) 37/2021,” jelasnya.
Menurutnya, uang dana JHT merupakan uang buruh atau pekerja. Artinya, tidak ada satu sen pun uang pemerintah di sana.
“Jadi tidak boleh ada pengaturan-pengaturan dalam bentuk penahanan. Kalau mereka di tengah jalan di-PHK sebelum usia pensiun, siapa yang menghidupi mereka selanjutnya ?” katanya.
Selain itu, kata Sumirah, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan UU Ciptaker inskonstitusional bersyarat saat menguji formil beleid tersebut. Pemerintah pun diminta tidak menerbitkan peraturan turunannya, terlebih mengatura hal-hal yang berdampak luas.
“Jadi, pakai logika, akal sehat saja, orang awam sekalipun dapat melihat, kalau PP 37/2021 itu seharusnya tidak terbit karena berdampak luas, melanggar putusan MK,” tegasnya.
Selain itu, Sumirah menambahkan, terlalu banyak persyaratan agar para pekerja dapat menerima manfaat JKP. Salah satunya, para buruh harus terdaftar pada empat program BPJS Ketenagakerjaan dan sebelumnya sudah aktif minimal satu tahun sebagai peserta.
Apabila Kementerian Ketenagakerjaan tetap bersikukuh memberlakukannya, pihaknya berencana kembali mengadakan aksi masa, tepatnya pasca waktu dua pekan waktu yang diberikan tidak dipenuhi. “Awal Maret akan aksi besar lagi dan secara total. Mungkin sampai menginap sgala. Ini pembahasan dari kawan-kawan yang masih koordinasi ke arah sana,” pungkasnya.