JawaPos.com – Negara Eropa saat ini kembali menghadapi lonjakan kasus Covid-19 karena adanya subvarian Omicron BA.2. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menilai hal itu terjadi karena Eropa yang terburu-buru melakukan pelonggaran pembatasan protokol kesehatan.

“Kenapa Eropa sudah relaksasi? Transisi dari pandemi ke endemi itu tidak 100 persen faktor kesehatan, itu banyak faktor sosial, politik, ekonomi, budaya juga. Kenapa kita lihat Eropa sudah cukup melonggarkan? Karena tekanan sosial politik masyarakatnya tinggi pemerintah dan parlemennya,” tegas Menkes Budi di DPR RI, Rabu (23/3).

Menurut Menkes Budi, warga negara Asia termasuk Indonesia lebih disiplin memberlakukan protokol kesehatan termasuk memakai masker dibanding warga Eropa. Salah satunya karena takut tertular dan takut meninggal.

“Orang Eropa itu sudah capek, sudah tidak takut kena Covid-19 dibandingkan yang lainnya. Orang Asia masih lebih takut terhadap Covid-19, takut terkena dan takut wafat atau meninggal,” katanya.

Sehingga akibatnya, kata dia, tekanan untuk negara-negara Eropa di mana masyarakatnya sudah tidak takut menghadapi Covid-19 membuat pemerintah Eropa akhirnya mengambil keputusan politis, bukan keputusan kesehatan. Ia menyebutkan ada beberapa negara yang melonggarkan seperti di Inggris, Swedia, Norwegia, Denmark, Spanyol.

“Angka kasus Eropa masih tinggi cuma tekanan politiknya sudah besar sekali sehingga akhirnya melonggarkan protokol kesehatan. Dan ini adalah satu realitas yang kita hadapi bahwa transisi dari pandmi endemi tidak murni dari sektor kesehatan, tapi ada pertimbangan sosial politik,” kata dia.

Karena itu menurut Menkes Budi banyak negara akhirnya menghadapi tekanan dari sosial politik lalu melakukan transisi dari pandemi menuju endemi atau melonggarkan prokes. Lalu bagaimana dengan di Indonesia?

“Indonesia merasa bahwa kita memahami bahwa tidak mungkin 100 persen ada faktor kesehatannya. Tapi memang sebaiknya pertimbangan sektor kesehatannya harusnya lebih tinggi sehingga kebijakan policy yang diambil tidak berbasis full emosi tapi juga ada berbasis scientific-nya, karena kami takutnya nanti tidak terkendali,” tegasnya.