JawaPos.com – Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Kamhar Lakumani meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencontoh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat masih menjabat sebagai kepala negara periode 2004-2009 dan 2009-2014.

Menurut Kamhar, SBY tidak pernah haus akan kekuasaan dengan memperpanjang jabatan sebagai kepala negara.

“Ada baiknya belajar dari Pak SBY, yang bisa secara tegas menolak wacana perpanjangan periodesasi jabatan presiden,” ujar Kamhar kepada wartawan, Sabtu (12/3).

Kamhar menjelaskan, pada tahun 2014 silam di penghujung SBY menjabat sebagai Presiden RI, kepuasan masyarakat terhadap Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat tersebut sebesar 72 persen.

Namun dengan tingginya kepuasan rakyat Indonesia terhadap SBY tersebut, tidak menjadikannya ingin menabrak konstitusi dengan memaksa menambah jabatannya sebagai Presiden RI.

“Kekuasaan memang cenderung menggoda. Karena itu, diperlukan kearifan dan kebijaksanaan dalam pengelolaannya agar husnulkhatimah, tak terjebak pada jebakan kekuasaan yang ingin terus melanggengkan kekuasaan,” katanya.

Karena itu, Kamhar berpesan kepada Presiden Jokowi untuk tidak terpengaruh terhadap klaim big data yang dimiliki Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, yang menyebut sebanyak 101 juta rakyat Indonesia ingin Pemilu 2024 ditunda.

Sebab menurut Kamhar, konstitusi telah menyebutkan bahwa Pemilu diadakan setiap lima tahun sekali, dan jabatan kepala negara hanya bisa dua periode saja.

“Beliau (Jokowi-Red) mesti mampu membebaskan diri dari pengaruh orang-orang sekitarnya yang berpikiran nakal yang ingin mengangkangi konstitusi. Termasuk pikiran-pikiran nakal untuk mendorong amandemen konstitusi agar penundaan Pemilu, perpanjangan masa jabatan Presiden,” ungkapnya.

Sebelumnya, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengaku memiliki data dari rakyat Indonesia yang menginginkan agar Pemilu 2024 ditunda pelaksanaanya. Sehingga wacana penundaan Pemilu 2024 bedasarkan suara dari rakyat Indonesia.

“Kita kan punya big data, dari big data itu 110 juta itu macam-maca adari Facebook dan segala macam, karena orang main Twitter kira-kira 110 juta,” kata Luhut.

Luhut menuturkan, dari big data tersebut masyarakat kelas menengah ke bawah menginginkan tidak ingin adanya kegaduhan politik di Indonesia akibat Pemilu 2024. Bahkan masyarakat takut adanya pembelahan, seperti di Pilpres 2019 lalu yang muncul ‘kecebong’ dan ‘kampret’.

Bahkan Luhut mengungkapkan dari big data tersebut masyarakat juga tidak ingin Indonesia dalam keadaan susah akibat pandemi Covid-19, namun malah menghaburkan uang demi penyelenggaran Pemilu 2024. Pasalnya menurut Luhut, Pemilu dan Pilkada serentak 2024 bisa menghabiskan anggaran negara sebesar Rp 110 triliun.

Karena itu, Luhut mengatakan seharusnya partai-partai politik bisa menangkap aspirasi dari masyakat mengenai keengganan Pemilu 2024 itu diselenggarakan.