JawaPos.com – Harga minyak dunia tengah bergejolak akibat konflik antara Rusia dan Ukraina. Lonjakan ini pun perlu diantisipasi agar tidak mempengaruhi keuangan negara, salah satunya dengan cara menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Adapun, pemerintah mengumumkan bahwa Pertamina hendak melakukan penghitungan ulang terhadap BBM jenis Pertamax. Hal itu dilakukan guna merespon naiknya minyak dunia dan memberikan keadilan bagi masyarakat.

Faktor lain yang mempengaruhi perubahan adalah harga BBM non-subsidi itu dirasa sangat timpang dengan harga keekonomian bahan bakar RON 92 yang seharusnya Rp 14.500 per liter. Sementara Pertamax, dijual dengan harga Rp 9.500 per liter.

Terkait hal itu, Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan bahwa itu adalah keputusan dilematis. Di sisi lain, dengan harga Pertamax saat ini, Pertamina diibaratkan tengah melakukan subsidi. “Jika harga Pertamax tidak dinaikkan, beban (keuangan) Pertamina akan semakin berat,” jelas dia ketika dihubungi JawaPos.com, Rabu (23/3)

Jadi menurutnya, untuk mengurangi beban tersebut, Pertamina dapat menaikkan harga Pertamax. Meskipun ada risiko inflasi, namun itu sangat kecil. “Kenaikan Pertamax memang berisiko akan menaikkan inflasi, tetapi kontribusinya kecil. Pasalnya, proporsi pengguna Pertamax sekitar 12 persen, yang sebagian masyarakat menengah ke atas,” tutur dia.

Selain itu, ia juga mengingatkan agar BBM jenis Pertalite tidak mengalami peningkatan harga. Pasalnya, konsumsi masyarakat pada Pertalite ini sebesar 73 persen yang tentu akan sangat berdampak besar pada daya beli.

“Risiko penaikkan Pertalite akan menaikkan inflasi secara signifikan dan memperpuruk daya beli rakyat,” imbuhnya. “Apalagi dalam sebulan teralhir sudah didahului kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Kenaikkan harga Pertalite akan semakin menaikkan harga-harga kebutuhan pokok yang lebih besar lagi. Tidak bisa dihindari beban rakyat akan semakin berat,” tambah dia. (*)