JawaPos.com – Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi tengah diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau untuk diuji materi (judicial review) di Mahkamah Agung. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berharap uji materi ini ditolak.

Anggota Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah berharap uji materi tersebut tidak menjadi hambatan bagi para korban untuk melaporkan kasus kekerasaan seksual yang menimpanya. Para korban diminta tetap berani bersuara agar kasusnya dapat diselesaikan.

“Kami sangat berharap judicial review ini tidak memutuskan semangat korban untuk melapor, jangan surut perhatian dan semangatnya,” kata Alimatul melalui siaran vietual, Kamis (24/3).

Alimatul mengatakan, Komnas Perempuan langsung melakukan komunikasi dengan para pemangku kepentingan terkait agar permohonan uji materi tersebut ditolak Mahkamah Agung. Sebab, peraturan tersebut dapat menciptakan kawasan tanpa kekerasan seksual di kampus.

“Kita masih banyak peluang untuk bersikap dan berjuang agar teman-teman audiensi ke pimpinan,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menambahkan, kekerasan seksual setiap tahunnya semakin meningkat. Pada 2021 lalu melonjak 72 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

“Komisi Perempuan meminta MA untuk menolak seluruh permohonan ini dan membuka serta memperbaiki mekanisme uji materi agar lebih terbuka. Untuk semua korban, mari kita terus saling menguatkan untuk menghapus kekerasan seksual terutama di perguruan tinggi,” kata Andy.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STH Indonesia Jentera, Rennie Aryandani juga mendukung upaya Komnas Perempuan yang meminta MA untuk menolak permohonan uji materi Permendikbud PPKS. Sebab, sampai saat ini, masih banyak perguruan tinggi yang belum mengimplementasikan peraturan tersebut.

“Bahkan ada yang tiba-tiba punya satgas tapi mahasiswa tidak dilibatkan. Permendikbud di judicial review ini menjadi ketakutan kami bersama,” ucapnya.

Sebelumnya, dalam riset yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bertajuk Sikap Publik terhadap RUU TPKS dan Peraturan Menteri tentang Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus: Temuan Survei Nasional yang dirilis pada 10 Januari lalu menunjukkan bahwa sebanyak 92 persen masyarakat mendukung Permendikbud PPKS. Manajer Program SMRC, Saidiman Ahmad, mengatakan mayoritas publik percaya regulasi tersebut merupakan upaya untuk melindungi korban.

“92 persen menyatakan mendukung atau sangat mendukung peraturan menteri tersebut. Yang tidak atau sangat tidak mendukung hanya sekitar 7 persen. Masih ada 1 persen yang belum menyatakan pendapat,” ujarnya di kanal Youtube SMRC.

Survei ini dilakukan pada 8-16 Desember 2021 melalui tatap muka atau wawancara langsung. Terdapat 2.420 responden terpilih secara acak (multistage random sampling) dari seluruh populasi Indonesia yang berumur minimal 17 tahun atau sudah menikah. Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 2.062 atau 85 persen. Dengan ukuran sampel tersebut, margin of error dari survei tersebut diperkirakan ± 2,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

“Dilihat dari sisi demografi, dukungan pada Permendikbud ini terlihat merata di setiap kelompok masyarakat,” ujar Saidiman.