JawaPos.com – Bangsa Indonesia masih menghadapi persoalan budaya baca yang belum terselesaikan. Acuan di UNESCO setiap satu orang berhak tiga buku baru dalam setahun. Sementara di Indonesia satu judul buku ditunggu 90 orang. Dengan kata lain tingkat rasio antara jumlah penduduk Indonesia dengan koleksi buku di perpustakaan umum masih 0,09 poin.

Fakta tersebut disampaikan Kepala Perpustakan Nasional (Perpusnas) Muhammad Syarif Bando. ’’Budaya baca Indonesia itu tidak rendah,’’ kata Syarif dalam keterangannya Jumat (25/3). Yang terjadi selama berpuluh-puluh tahun Indonesia mendapatkan penghakiman dari dunia melalui survei-survei mereka sendiri.

Syarif menegaskan nenek moyang bangsa Indonesia adalah orang-orang pencipta dan berbudaya baca dan tulis yang kuat. Buktinya adalah nenek moyang bangsa Indonesia memiliki lebih dari 100 aksara. Ini menjadikan yang tertinggi di dunia.

’’Tetapi masalahnya Cuma satu. Kalau di Unesco setiap orang setiap tahunnya berhak tiga buku baru. Kita itu satu buku ditunggu 90 orang,’’ ungkapnya. Syarif menegaskan buku yang dia maksud itu bukan buku-buku pelajaran. Melainkan buku-buku umum yang ada di perpustakaan.

Syarif mengatakan Perpusnas bersama jaringan perpustakaan umum di daerah-daerah berupaya mengatasi persoalan tersebut. Rasio buku dengan jumlah penduduk ditingkatkan. Diantara caranya adalah dengan menjalin kerjasama digital dengan sejumlah penerbit.

Melalui kerjasama digital ini, Perpusnas memiliki hak untuk menyajikan buku dalam bentuk digital. Masyarakat bisa semakin mudah untuk mengaksesnya tanpa harus memegang buku fisik. Misalnya ada kontrak digital untuk 100 buku digital, maka bisa dibaca sampai 100 orang.

’’Melalui aplikasi kami, masyarakat bisa membentuk perpustakaan-perpustakaan digital di rumah masing-masing,’’ tuturnya. Upaya ini diharapkan bisa mengatasi persoalan rendahnya rasio jumlah buku dengan jumlah penduduk di Indonesia.

Persoalan lainnya adalah penyamaan persepsi peningkatan kualitas SDM bangsa Indonesia. Persoalan ini akan dibahas dalam Rapat Koordinasi Nasional Bidang Perpustakaan 2022 di Jakarta pada 29-30 Maret. Rapat kali ini mengambil tema Transformasi Perpustakaan untuk Mewujudkan Ekosistem Digital Nasional.

Syarif menegaskan perlu disamakan persepsi tentang literasi itu sendiri. Dia menegaskan dalam kondisi sekarang, literasi itu bukan lagi kemampuan merangkai huruf menjadi kata. Kemudian kata menjadi kalimat. Lalu kalimat menjadi paragraf. Lebih dari itu, literasi adalah kemampuan memproduksi atau menciptakan barang dan jasa. Dan bisa dimanfaatkan di tingkat global. ’’Akhir dari percaturan global, yang jadi pemenang adalah yang menjadi produsen,’’ tandasnya.