JawaPos.com–Mahasiswa adalah intelektual muda yang idealis dan sangat kuat memegang teguh nilai-nilai yang dipercayai sebagai nilai kebenaran. Hal demikian berbeda dengan pelajar pada umumnya yang datang ke sekolah dan sebatas untuk menimba ilmu.
”Mahasiswa kerap terpanggil hati nuraninya untuk peduli pada masalah-masalah yang ada,” ujar Kepala Bagian Pemberitaan dan Hubungan Antar Lembaga Setjen MPR Budi Muliawan.
Budi menyampaikan itu saat menjadi narasumber dalam diskusi dengan tema Peran Mahasiswa sebagai Tonggak Pemersatu dalam Kebhinnekaan, Sarasehan Kehumasan, MPR Menyapa Sahabat Kebangsaan, di Aula Madya Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan, Banten, beberapa waktu lalu.
Budi Muliawan menuturkan, mahasiswa masuk dalam level atau tataran kaum intelektual di tengah masyarakat. Mahasiswa memiliki peran dan fungsi sosial yang mampu mewarnai dan memberi dampak bagi kemajuan peradaban dan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Alumni Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia itu menyebut ada lima peran penting mahasiswa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yakni mahasiwa sebagai iron stock, mahasiswa sebagai agent of change, mahasiswa sebagai guardian of value, mahasiswa sebagai moral of force, dan mahasiswa sebagai social control.
”Lima peran ini perlu ditambah dengan mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, dan pengabdian kepada masyarakat. Dari nilai-nilai ini, membuat mahasiswa memiliki peran sangat strategis dalam pembangunan dan kemajuan bangsa,” ujar Budi.
Dia menjelaskan, peran strategis yang dilakukan mahasiswa sudah terbukti dan tercatat dalam perjalanan sejarah bangsa. Salah satunya yakni Sumpah Pemuda 1928. Saat itu, kebhinnekaan sangat terasa kental. Tidak ada yang mempermasalahkan perbedaan, semua fokus bersatu demi Indonesia.
”Peristiwa bersejarah selanjutnya, adalah kemerdekaan Indonesia yang didorong kaum muda,” ujar Budi.
Dia menambahkan, perubahan kondisi politik pada era 1965–1966 yang menggerakan juga kaum muda dan mahasiswa. Kemudian era reformasi muncul pada 1998, penggeraknya juga mahasiswa.
”Artinya, semua yang tercatat dalam sejarah itu sebagai bukti otentik bahwa peran mahasiswa betul-betul sangat penting. Untuk itulah kami mendorong mahasiswa seluruh Indonesia bangkit mengambil peran itu demi Indonesia maju,” tutur Budi.
Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Cecep Castrawijaya menyebut, kegiatan diskusi itu sebagai salah satu upaya untuk membangkitkan kembali nilai-nilai kebangsaan, persatuan, dan kesatuan.
Cecep menambahkan, sejarah perjalanan bangsa Indonesia tidak terlepas dari peran pemuda dan mahasiswa. ”Sejak 1908 hingga Gerakan Reformasi 1998, mahasiswa sebagai kaum terpelajar hadir menunjukan perannya,” tutur Cecep.
Dalam era kekinian, Cecep berharap agar mahasiswa tetap menunjukan kiprahnya, berperan menjadi pembaharu agar bangsa dan negara Indonesia bisa berkembang dan maju. ”Dengan terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memahami nilai luhur bangsa sehingga muncul generasi pintar dengan nasionalisme yang kuat,” ucap Cecep.
Cecep mengungkapkan, paham kebangsaan atau nasionalisme sudah diajarkan sejak awal mahasiswa masuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hal itu penting sebab mereka berasal dari berbagai daerah sehingga perlu diikat dalam satu rasa kebangsaan.
”Dalam orientasi mereka bisa saling mengenal satu sama lain, belajar, bersosialisasi dan berorganisasi bersama,” tutur Cecep.
”Rasa kebersamaan terjalin, sehingga nasionalisme tumbuh karena merasa satu tanah air dan satu bangsa, Indonesia. Saya berharap ini akan terus terjaga dan berkembang,” tambah dia.